Bolehkah Pendeta (Emiritus) Bisa Berpolitik Praktis? Oleh: Lomboan Djahamou

Pemred Liputan NTT
0

Kalabahi,LIPUTANNTT.com,Dalam Dunia Kekristenan saat ini baik tersurat atau tersirat, kaum atau kelompok Kristen Protestan: GMIT, Bethel, Pentakosta, Kemah Injil, dst, pada tatanan struktur organisasi pelayanan, para pelayannya hampir 100% mencerminkan pengadopsian Kum Lewi.


Siapa itu kaum Lewi?


Sekarang orang-orang Lewi Kupilih menjadi milik-Ku. Ketika Aku membunuh semua anak sulung bangsa Mesir, Ku khususkan bagi-Ku semua anak laki-laki sulung orang Israel dan semua ternak mereka yang pertama lahir. Semuanya itu adalah milik-Ku. Sebagai pengganti anak laki-laki sulung Israel, Aku mengambil orang Lewi untuk-Ku; mereka akan menjadi kepunyaan-Ku. Akulah TUHAN."


Jadi suku yang dikhusukan untuk melayani Tuhan ini adalah ganti dari semua anak sulung Israel. Bangsa Israel ingat betul kata "ganti anak sulung". Orang tua mereka berulang kali menceritakan kisah penyelamatan Tuhan keluar dari tanah Mesir, termasuk tulah kesepuluh, tulah anak sulung. Seluruh anak sulung dari bangsa mesir, bahkan seluruh ternak sulung tewas. Anak sulung dipisahkan dari saudara-saudarinya. Dikhususkan. Jadi, alih-alih seluruh anak sulung bangsa Israel, Tuhan memilih satu suku sebagai ganti.

Menjadi bagian khusus, berarti menjadi perkecualian. Pasukan khusus misalnya, berbeda dengan pasukan tentara biasa. Beda tugas, beda tuntutan dan beda kemampuan. Sama halnya, menjadi suku yang dikhususkan untuk menjadi suku pelayan membawa beberapa konsekuensi. Dan tidak semuanya mudah diterima.


Kita berasumsi sajalah kalau Kaum Lewi saat ini adalah para Pelayan dan/atau Pendeta (Emiritus). Istilah Pendeta dalam bahasa Indonesia umumnya untuk menyebut Pemimpin Gereja-gereja Protestan. Nama Pendeta berasal dari bahasa Sansekerta: "Pandita" yang berakar dalam tradisi Agama Hindu. Kata Pandit dalam Hinduisme merupakan Gelar Anggota Kasta Brahmana yang melakukan fungsi Keimamatan tetapi memiliki spesialisasi dalam mempelajari menafsirkan teks-teks Kitab yang dianggap Suci serta filsafat Purba. Menurut Alexander Strauch, kemungkinan penggunaan istilah Pendeta untuk Kaum Rohaniawan Kristen Protestan di Indonesia adalah untuk membedakan dari Gereja Tua Katolik. Karena Gereja Tua telah lebih dulu mempopulerkan kata Pastor atau Imam untuk menyebut gelar Rohaniawan Gereja.


Point pentingnya adalah Para Prndeta adalah orang yang mendapat Panggilan khusus dari TUHAN dan diutus oleh TUHAN. Karena mereka melakukan tugas-tugas KEILAHIAN.


Pertanyaan dari berbagai pihak adalah, bolehkah Pendeta (Emiritus) bisa masuk dunia politik praktis, misalnya maju menjadi Calon Anggota DPRD, DPRD Provinsi, DPR RI, Calon Kepala Daerah dan jabatan-jabatan Politik lainnya?


Dari sisi fakta Historis kaum Yahudi Kuno, dari definisi istilah Lewi di atas maka tidak  berhak kaum Lewi mengambil alih fungsi kaum Yahuda sebagai pemegang tampuk pemerintahan. Demikian kaum Benyamin tak punya hak membakar korban persembahan bagi Tuhan yang adalah fungsi kaum Lewi. Karena hanya kaum Lewi lah yang disetujui TUHANNYA untuk pelayanan ILLAHI dan kaum Yehuda lah yang direstui YHWH TUHANNYA kaum Yahudi Kuno untuk urusan Pemerintahan. Tragisnya Raja pertama mereka, Saul adalah hasil konsesus tua-tua Yahudi yang jelas-jelas mengkudeta Theokrasi berujung gila (diliputi roh jahat). 


Lalu pertanyaan pentingnya bagi kita adalah, kenapa bukan suku Ruben, Isaskar atau Simeon dan 11 Suku Lainnya yang mengurus Pemerintahan? Sejarah Yahudi kuno mencatat, karena YEHUDALAH yang berkorban kepada 11 saudaranya saat mereka ditimpa kemalangan khususnya saat bencana kelaparan dahsyat. Di sini kita patut belajar betapa penting jabatan kaum Lewi dalam pelayanan spiritual yang tak boleh dipandang sepele oleh umat apalagi kaum Lewi sendiri. Bila kaum Lewi menghasratkan jabatan pemerintahan dan tak lagi menjadi pembakar semangat beriman dan urusan Pelayanan KEILLAHIAN bagi umat maka LEWI tak lagi mengemban fungsi mulianya. Demikian juga bila kita semua penganut Lutherisme mengakui Pendeta dan diasumsikan sebagai Lewi-Lewi masa kini maka betapa berbahaya menghasratkan kedudukan dalam jabatan pemerintahan. Karena realitasnya beberapa dari pengemban jabatan pendeta atau emeritus mencoba hasrat itu dan mendapat kedudukan ternyata berujung tragis. Seperti nasib tragisnya sejarah Raja Saul milik Kaum Yahudi Purbakala, tidak lagi mendapat penghormatan bangsanya atau kaumnya bahkan umat Yahudi, akhirnya Raja Saul meninggal dunia tanpa harkat.


Pertanyaan lainnya: Apakah hanya orang Lewi masa kini (Pendeta/Emeritus) yang baik, benar dan kudus sehingga harus terlibat dalam percaturan politik merebut kekuasaan dengan alasan untuk perbaikan suatu tatanan sosial masyarakat melalui instrumen politik? 


Realita banyak berkisah berbeda, bahkan orang Lewi purbakala disebut YESUS sebagai penyamun: "Rumah BapaKu telah kamu jadikan sarang Penyamun..." Sejarah masa kinipun berkisah nyata kalau tidak sedikit jabatan Pendeta bermasalah serius. Misalnya belum lama ini di kampung kita sendiri ada Vikaris (calon Pendeta) menghebohkan kita dengan gambaran menohok yang tak berperi kemanusiaan: kisah cabul vikaris Alor, NTT.


Saya berpendapat; masih bernilai dan mulia para filosof menghendaki jabatan kekuasaan, sebab bagi Plato murid dari Sokrates sang filosof legendaris mengatakan: "Negeri akan baik bila dipimpin oleh Filosof atau pemimpinnya Filosof." Meskipun Filosof tidak sedikitpun menginginkan kekuasaan hanya apabila menambah keburukan dalam sistem kepemimpinan, namun dalam keadaan terpaksa filosof mangambil langkah berani ini. Mungkinkah kaum Lewi kaum dan Lewi saat ini juga menganggap perlu hari-hari ini untuk mengincar kekuasaan, jabatan melalui roda politik persis keputusan filosof, atau memang Kaum Lewi telah mewarisi spirit duniawi yang mengabaikan pahala janji surga?


Manusia terlalu manusiawi, kata Ferederiche Nietzche. Kaum Lewi zaman ini para pendeta dan emirituspun manusia: tidak soal menghasratkan kuasa namun apakah tidak menjadi persoalan baru yang serius karena  mempertaruhkan kemuliaan, kemegahan, dan warisan nama baik pelayan Tuhan, bahkan mempertaruhkan suatu doktrin yang telah dianut turun-temurun ribuan tahun?


KONKLUSI:


Pertama: Pada dasarnya persoalan mengenai peran Sosial Politik khususnya peran serta para Kaum Lewi saat ini baik Pendeta/Emiritus  dalam politik praktis membutuhkan KESADARAN DIRI;


a). Para Pendeta/Emiritus terhadap Dogma/Doktrin Asas Gereja Lutherisme.


b). Para pucuk Pimpinan lembaga Gereja, mulai dari PGI dan SINODE-SINODE untuk tegak lurus terhadap suatu dogma yang telah FINAL.


c). Seluruh Umat Tuhan agar juga diberikan pemahaman tegak lurus terhadap Dogma yang telah menjadi Doktrin Gereja, sehingga mereka para Umat tidak ikut-ikutan dalam membasuh Jubah Kesetiaan mereka terhadap Noda Nista Dosa hanya karena mereka tidak memiliki pemahaman yang kuat terhadap suatu Dogma khususnya Dogma Ke-Lewian.


Kedua: Apakah ada aturan main tegak lurus berdasarkan: Alkitab, Dogma, Keputusan Gereja dalam berorganisasi yang baik untuk mendisiplinkan tegas para Pendeta/Emiritus terhadap pelanggaran DOGMA-DOGMA Gereja? Maksud saya adalah apakah ada aturan khusus semacam Kode Etik para Pelayan TUHAN yang bisa digunakan menjadi standar ukur sekaligus menjadi cambuk bagi mereka yang begitu ambisius terhadap perpindahan status pekerjaan dari jabatan yang Suci/Kudus kepada pekerjaan POLITIK PRAKTIS? 

Semoga Bermanfaat.

*Penulis adalah aktivis Alor yang tinggal di Buyungta, Kabola, Alor-NTT.(*)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*

Melayani permintaan peliputan dan pemasangan iklan banner. Marketing Director (Email: redaksiliputanntt@gmail.com.Contact Person:081236630013). Alamat Redaksi: Jl. Oekam, RT 13/RW 005 Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT. Email: redaksiliputanntt@gmail.com. Tlp/Hp: 081236630013 Rekening: BRI: No. Rek. 467601014931533 a.n. Hendrik Missa Bank NTT: No. Rek. 2503210258 a.n. Hendrik Missa