KUPANG,LIPUTANNTT.com,Prosesi peminangan Roni Pala'biran and Grace Kadang, Kamis, 18 April 2024 kemarin, terbilang Matokko (menarik, indah dan bernilai tinggi). Elok disaksikan, pun menarik diulas. Pasalnya, mempertontonkan budaya Toraja di tanah rantau. Di Nusa Tenggara Timur, tungka sangan na. Bagi warga Toraja, itu hal yang biasa. Tapi tidak bagi warga Kupang, yang notabene sebagai undangan di acara lamaran itu. "Wow.., pung bagus lai," tutur mereka dibuat decak kagum menyaksikan prosesi lamaran tersebut.
Den pare (padi) sola tuak/ballo, dilemba. Den duka pa'piong barra' atau pa'piong bo'bo sola kalosi/pinang. Lalu, apa makna semua itu? Sebagai jurnalis, insting news beta lalu tergugah. Tentu untuk mengulasnya. Sebab itu unik, pun beta ingin terus melihat budaya leluhur dilestarikan. Walau di tanah rantau nun jauh dari Bumi Lepongan Bulan. Ya, di Bumi Flobamora.
Sekedar tahu, prosesi pinangan Roni Pala'biran dan Grace Kadang dilangsungkan di kediaman Markus Sampe (orang tua Grace), di bilangan Petuk, Kelurahan Kolhua, Kota Kupang. Roni Pala'biran merupakan anak ketiga, putra kedua dari tiga bersaudara, pasangan bapak Luther Pala'biran dan ibu Martha Patadan (almh). Sedang Yunita Grace Kadang adalah anak ketiga, putri pertama dari lima bersaudara, pasangan bapak Markus Sampe dan ibu Elisabeth Paledan. Pasangan ini sama-sama berasal dari Toraja Utara, yakni Sa'dan dan Tikala.
Beta lalu meng-confrom by WhatsApp, teman saya. Noldus Pandin namanya. Tinggal di Toraja. Dia alumni Antropologi Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM). Noldus sangat paham budaya Toraja. Termasuk makna antaran dalam prosesi lamaran. Beta pengen tahu, cerita di balik tuak, pare dan pa' piong barra' yang dilemba itu. Noldus yang juga Ketua Perkumpulan Forum Diskusi Budaya Toraja atau Founder PFDBT, kemudian berikisah.
Dalam tradisi suku Toraja, prosesi lamaran sebelum hari "H" pernikahan, baik dalam strata sosial rendah, sedang maupun tinggi, senantiasa menjunjung tinggi nilai saling menghargai kedua belah pihak, manakala sudah ada kesepakatan terjadi. Nah, mengapa harus pihak calon mempelai laki-laki bersama rumpun keluarganya yang mendatangi kediaman calon mempelai perempuan? Alasannya, kata Noldi, kaum perempuan bagaikan simbol pewaris keturunan, dan senantiasa dihormati serta dihargai dalam kehidupannya. "Kira-kira seperti oase atau oasis bak mata air di padang tandus," sebutnya.
Pertanyaan ikutan, mengapa harus ada yang mengetuk pintu (ma' dedek ba'ba)? Kenapa tidak langsung saja naik ke atas rumah, atau masuk dalam rumah untuk saling bercakap-cakap, sesuai rencana yang diinginkan? "Bagi masyarakat suku Toraja, posisi perempuan memiliki harkat dan martabat yang bernilai, sehingga dibutuhkan bagaimana tingkah laku yang mau dinampakkan kepada kerabat calon mempelai perempuan, agar dengan rela sepenuh hati menerima lamaran dengan baik. Jadi ini sebagai wujud nilai etika sebenarnya yang mau diperlihatkan, agar disaksikan oleh semua rumpun keluarga kedua belah pihak yang hadir," kata Noldus.
Dalam antaran pada prosesi pelamaran tersebut : ada Ballo/Tuak, Piong Bo'bo/Nasi Ketan dibakar/dimasak dalam bambu, ada Padi, ada Pinang dan lainnya. "Dalam pandangan manusia Toraja, sangat menjunjung tinggi filosofi Tallu Lolona/tiga jenis kehidupan yang harus dilakukan dan diperhatikan, agar dalam hdiup berkeluarga senantiasa memelihara filosofi tersebut, yakni; lolo tau/kehidupan manusia, lolo patuan/kehidupan ternak, lolo tananan/kehidupan akan pemeliharaan segala tanaman yang ada di muka bumi. Jika kesemuanya ini telah dilakukan, maka seorang manusia Toraja dianggap sukses dan mampu bertanggung jawab dalam kehidupannya bersama keluarganya," ungkap Noldus.
Sedangkan simbol buah pinang dimaknai, supaya memiliki keturunan yang banyak, sampai berlapis-lapis keturunannya kelak. Sedangkan ballo/tuak agar bisa berumur panjang dan selalu memberikan nasehat atau petua kepada generasinya kelak. "Lalu kenapa ada piong beras ketan? Agar senantiasa lengket dalam keluarga. Rejeki juga bisa melekat pada keluarga, sehingga tercapai sejahtera dan sukacita dalam hidup berkeluarga. Karena itu, hendaknya hal demikian tetap dilakukan para diaspora suku Toraja di mana saja berada! Karena siapa lagi yang akan melestarikan budaya kita, jika bukan kita?" pungkas Noldus Pandin, sang Antropolog Budaya asal Toraja itu. (*)